Jumat, 18 Maret 2011

Kenangan manis di Toraja

masa yang sangat indah di Tana TOraja bersama dengan keluarga besar.









Baca Selengkapnya...

Tongkonan

Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.[15] Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[20]
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Baca Selengkapnya...

Kamis, 17 Maret 2011

Kebenaran Upacara Adat Rambu solo

Tiap daerah punya tradisi menghormati kematian. Jika di Bali kita kenal dengan istilah Ngaben, di Sumatera Utara, Sarimatua, maka di Tana Toraja dikenal dengan upacara Rambu Solo'. Persamaan dari ketiganya: ritual upacara kematian dan penguburan jenazah. Di Tana Toraja sendiri memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu Tuka. Rambu Solo' merupakan upacara penguburan, sedangkan Rambu Tuka, adalah upacara adat selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai direnovasi.


Rambu Solo' merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu.

Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari.

Tapi, sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum/ almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban. Namun bagi penganut agama Nasrani dan Islam kini, jenazah dapat dikuburkan dulu di tanah, lalu digali kembali setelah pihak keluarganya siap untuk melaksanakan upacara ini.

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo' maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih 'sakit', maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama (tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia berasal. Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma'tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.

Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.

Seluruh prosesi acara Rambu Solo' selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung).

Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).

Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.

Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.

Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.

Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma'pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu Solo', adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.

Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane' (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).
Baca Selengkapnya...

Selasa, 15 Maret 2011

Binatang yang memiliki arti besar di Tana Toraja

Jika di sebagian belahan nusantara kerbau hanya dipandang sebagai hewan ternak dan seringkali ditemukan berkubang lumpur di sawah, tidak demikian halnya dengan kerbau yang ditemukan di sekitar kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Bagi masyarakat Toraja, kerbau memiliki posisi istimewa dan menjadi salah satu simbol prestise dan kemakmuran.

Dalam upacara adat Toraja seperti Rambu Solo’ (pemakaman) kerbau memegang peranan sebagai piranti utama. Kerbau digunakan sebagai alat pertukaran sosial dalam upacara tersebut. Jumlah kerbau yang dikorbankan menjadi salah satu tolok ukur kekayaan atau kesuksesan anggota keluarga yang sedang menggelar acara. Kebanggaan akan hal tersebut terlihat dari jumlah tanduk kerbau yang dipasang pada bagian depan Tongkonan (rumah tradisional Toraja) keluarga penyelenggara upacara Rambu Solo’. Jumlah kerbau yang dipersembahkan bisa mencapai ratusan ekor dan menghabiskan dana hingga miliaran rupiah.
Bentuk fisik kerbau yang oleh masyarakat Toraja disebut tedong itu berbeda dengan yang banya ditemukan dikawasan lainnya. Kerbau Toraja rata-rata berbadan kekar dan beberapa diantaranya memiliki kulit belang. Diantaranya Tedong pudu semua kulitnya berwarna hitam, tedong bonga sebagian besar kulitnya berwarna hitam, tedong saleko sebagian kulitnya berwarna putih dan tedong lotong boko’ yang hanya bagian belakang kulitnya berwarna hitam. Selain belangnya, kerbau Toraja juga berbeda karena tanduknya yang tumbuh memanjang hingga 2 meter, atau tanduk yang tumbuh ke arah bawah. Dengan berbagai keistimewaan tersebut, tidak heran jika harga seekor kerbau yang kondisi fisiknya dinilai sempurna oleh to massapu tedong atau to ma’tassere’ tedong (penaksir harga tedong) dapat mencapai harga Rp.300 juta per ekor.




Agar tubuh kerbau menjadi kekar dan kuat, susu dan belasan butir telur ayam menjadi santapan sehari-hari. Kekuatan dan postur tubuhnya akan sangat berpengaruh pada nilai jual serta daya tempur kerbau di arena adu kerbau (ma'pasilaga tedong). Kerbau yang sering muncul sebagai pemenang memiliki penggemar tersendiri. Arena pertandingan kerbau digunakan juga sebagai ajang hiburan rakyat serta pertaruhan uang antarwarga. Baca Selengkapnya...

Penyimpangan Adat Rambu Solo

Kisah ini bermula sekitar bulan 02/03/2011 yang bertempat di sekitar daerah Buntao Tana Toraja. Acara pemakaman 'A'(inisial), yang telah kurang lebih sudah meninggal 2 tahun lamanya, pada awal bulan maret acara Rambu Solo pun di adakan dalam waktu 3 hari di kediaman 'B' yang merupakan adik kandung dari Almarhum. Pada hari ketiga saat nya pengantara Jenazah Almarhum menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.

Tetapi semua tidak sesuai dengan rencana pada saat Jenazah di bopong 'S' (anak dari Almarhum)pun menghadang proses kegiatan tersebut dengan alasan dia masih ingin mengadakan acara di tempat kediaman nya yang lokasinya tidak jauh dari tempat 'B' mengadakan acara Rambu Solo sedangkan sebelum Jenazah di berikan (diserahkan) kepada pihak 'B' terlebih dahulu Jenazah tersebut sudah berada di rumah kediaman pihak 'S' lalu baru lah di serahkan kepada pihak 'B'. Hanya kita sebagai orang Toraja yang benar-benar bisa menilai bentuk video yang terdapat di bawah ini menyalahi adat atau tidak kah. Jangan sampai kelak anak-anak kita yang merasakan dampak dari penyimpangan Adat dari beberapa orang yang mencari keuntungan dalam bentuk apapun juga disebuah acara Rambu Solo. Adat istiadat Tana Toraja yang sudah terkenal hingga kemancanegara sekalipun, masih tetap berdiri kokoh dengan patokan adat istiadat yang benar-benar masih di pegang teguh oleh warga Toraja jangan lah sampai kebudayaan kita di salah artikan atau di buat menyimpang di kemudian hari oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
silahkan kita lihat secara langsung video di bawah ini:

Berdasarkan video tersebut dapat kita lihat seseorang yang mengenakan jaket berwarna kuning merupakan anggota keamanan RI yang ikut menentang warga membopong Jenazah hingga ke liang kubur sedangkan orang tersebut bukanlah sama sekali orang yang asli keturunan dari Toraja. Pada saat itu masyarakat yang mengikuti proses pengarakkan Jenazah tidak ada yang mau untuk membantu membopong mayat tersebut turun kembali dikarenakan masyarakat banyak yang percaya hal itu tidak cuma melanggar adat istiadat mereka tetapi juga dapat mengakibatkan musibah yang akan datang di kemudian hari. Setelah itu Jenazah di gotong kembali ke rumah 'S'(Inisial) untuk di acarakan kembali tetapi tidak ada warga sekitar yang mau menghadiri acara tersebut dan tamu-tamu undangan pun hanya berasal dari beberapa desa-desa tetangga yang tidak tau menau mengenai masalah yang ada di balik semua itu. Tidak tahu apa jadinya nanti jika anak-anak kita meniru hal-hal yang sama seperti yang ada di video ini.
Baca Selengkapnya...

Letak Geografis TanaToraja

Letak Geografis
Letak Astronomis berada pada 20 – 30 LS dan 119o – 120o BT
Ketinggian dari permukaan Laut = 150 – 3.083 M terdiri dari :
18.425 Ha pada ketinggian 150 - 500 M = 5,80 %
143.314 Ha pada ketinggian 501 - 1000 M = 44,70 %
118.330 Ha pada ketinggian 1000 - 2000 M = 36,90 %
40.508 Ha ketinggian lebih dari 2000 M = 12,60 %
Curah Hujan : 1500 mm/tahun s.d lebih dari 3500 mm/tahun
Jenis Batuan : Batuan Sedimen
Batuan Gunung
BatuanTerobosan

Jenis Tanah : Tanah Alluvial Kelabu
Brown Forest
Mediteran
Podsolit Merah Kuning
Rupa Bumi : Bergelombang dan bergunung

Batas Wilayah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa
Baca Selengkapnya...

Kebudayaan TanahToraja

Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat upacara adat yang terkenal dan tidak ada duanya di dunia, yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk memakamkan leluhur/ orang tua yang tercinta) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', juga acara upacara Ma'nene'. Dan Upacara Adat Rambu Tuka.

Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya. RAMBU TUKA

Acara upacara adat Rambu Tuka' (acara untuk memasuki rumah adat yang baru/Tongkonan) atau yang selesai direnovasi; dan waktunya sekali dalam 50 atau 60 tahun. Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau Mangrara Banua Sura'.

Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.

RAMBU SOLO (Upacara Pemakaman)

Rumah bambu tarnpak berderet, himpit menghimpit diatas padi yang tengah menghijau, tidak jauh dari situ berbaris orang orang mengikuti dibelakang mereka hewan ternak untuk dipersembahkan pada tuan rumah, tidak ketinggalan pula tuan rumah menyambut dengan ramahnya oleh tari tarian dan beraneka macam santapan yang telah dipersiapkan di atas daun pisang. Sepintas terlihat bak sebuah acara menyambut kesuka-citaan besar, tidak dinyana upacara yang begitu megahnya adalah upacara untuk prosesi pemakaman yang lebih dikenal dengan upacara Rambu Solo'.

Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun ini, mewajibkan keluarga yang ditinggal membuat sebuah pesta sebagai tanda hormat terakhir pada mendiang yang telah pergi.

Namun dalam Pelaksanaannya, upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
Dipasang Bongi: Upacara yang hanya diiaksanakan dalam satu malam. Dipatallung Bongi: Upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan.
Dipalimang Bongi: Upacara pemakamanyang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan
Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang setiap harinya ada pemotongan hewan.

Biasanya pada upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentan waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah "lapangan Khusus" karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Mebalun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Popengkalo Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Tidak hanya ritual adat yang dapat dijumpai dalam Upacara Rambu solo, berbagai kegiatan budaya yang begitu menariknya dapat dipertontonkan dalam upacara ini, antara lain : Mapasilaga tedong (Adu kerbau), perlu diketahui bahwa kerbau di Tana Toraja memiliki ciri yang mungkin tidak dapat ditemui didaerah lain, mulai yang memiliki tanduk bengkok kebawah sampai dengan kerbau berkulit putih; Sisemba (Adu kaki); Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo': Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.; Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo'.

PEMAKAMAN

Kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan (Erong), namun mereka pun mempersiapkan tempat "peristirahatan terakhir" dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata sosial yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun kemampuan ekonomi individu, umumnya tempat menyimpan jenazah adalah gua/tebing gunung atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane). Budaya ini telah diwarisi secara turun temurun oleh leluhur mereka.

Adat masyarakat Toraja menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, merupakan kekayaan budaya yang begitu menarik untuk disimak lebih dalam lagi, dapat dijumpai di beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti Londa, yang merupakan pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia; Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, hasil kombinasi antara ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa dengan kreasi tangan terampil Toraja pada abad XVI (dipahat) atau liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
Baca Selengkapnya...